PERSIAPAN
Saya kenal beberapa orang yang tinggal di Singapura. Mereka banyak sekali memberi informasi mengenai Singapura dan persiapan apa saja yang harus saya lakukan. Juga seorang teman kantor saya juga yang pernah berkunjung ke Singapura, sangat mendukung agar saya sesekali pergi ke luar negeri, sebagai pengalaman.
Bulan Juli, semua sudah siap, tiket pesawat sudah di tangan, kamar hotel juga sudah dipesan. Semua informasi kuperoleh dari hasil bertanya sana sini. Ada 5 perusahaan penerbangan yang direkomendasikan kepada saya. Karena faktor keekonomisan dan kemudahan membayar, pilihan jatuh pada Sriwijaya Air. Tiket PP Cengkareng – Changi untuk 2 orang habis 2juta lebih sekian puluh ribu, artinya satu kali terbang untuk tiap orang ongkosnya 500ribu.
Untuk hotel, memang banyak pilihan, antara hostel, atau hotel. Namun saya memilih hotel karena saya akan menginap beberapa hari dan kenyamanan menjadi faktor utama. Dari beberapa pilihan yang direkomendasikan, dan berbagai informasi relevan di internet, saya pilih hotel 81 Bugis. Hotel 81 Bugis, hotel budget yang terletak di pusat kota, dekat Bugis Junction, bisa dipesan via internet dengan pembayaran cash saat cek in. Jadi ga perlu repot buat kartu kredit dulu. Letak tepatnya di Middle Rd. bersebelahan dengan perpustakaan nasional Singapura. Untuk 4 hari 3 malam, total biaya hotelnya adalah $457.
Hotel 81 Bugis, kamar standarnya kecil, tapi cukup nyaman, ada yang single bed, ada yang doble bed, AC, shower air panas, dan televisi. Mungkin kurangnya, ga ada kolam renang, ga ada sarapan, dan biaya tambahan untuk koneksi internet. Mbak receptionist nya juga agak jutek, awalnya sih, tapi begitu udah kenal, ramah juga kok. Tarif hotel 81 di tengah kota memang 2x lebih mahal daripada hotel 81 yang ada di pinggiran kota.
BERANGKAT
Hari Kamis, 24 Nov 2011, Jam 4 pagi, saya berangkat ke bandara menggunakan travel dari Bintaro. Ini merupakan penerbangan pertama saya melintasi batas negara. Rasanya ribet banget. Naik pesawatnya memang sebentar, hanya satu setengah jam, tapi prosedur di bandaranya itu yang lama. Tapi memang harus demikian, sebenarnya kalau ditelateni gampang juga kok, dan umumnya petugas di bandaranya bersahabat. Saya juga tidak membawa banyak barang, hanya satu tas ransel saja. Setidaknya saya sudah membaca dan mengumpulkan banyak informasi sebelum berangkat, jadi nantinya saya tidak terlalu buta arah.
Jam 10.00 WIB pesawat Sriwijaya saya berangkat. Namanya juga dapat tiket promo, dapat kursi kursi pun di tempat yang ngga enak, di sebelah pintu darurat sayap. Ngga apa-apa, tapi tetap dapat makan dan minum yang enak-enak juga kok. Ketika akan mendarat, cuaca di atas Singapura mendung, beberapa kali pesawat bergoncang ketika menembus awan, ah tapi itu juga hal biasa kan?
Begitu mendarat di Changi, saya dengan mudah menemukan tempat-tempat yang akan saya tuju. Di konter kedatangan juga disediakan berbagai brosur, peta kota, dan buku panduan wisata yang dapat diambil dengan gratis. Saya sempatkan ke toilet bandara, yang kata teman saya berlantai karpet, ternyata tidak. Mungkin karena ini terminal 2, terminal untuk penerbangan budget, bukan terminal 1 yang eksklusif, mungkin saja begitu ya? Setelah ke bagian imigrasi dan pengambilan bagasi, saya langsung menuju MRT. Satu hal, ketika di bagian imigrasi dan pengambilan bagasi, ketika saya bertanya dengan bahasa inggris, mereka selalu menjawabnya dengan bahasa Indonesia (bahasa melayu). Mungkin karena mereka tahu saya dari Indonesia.
Dengan mudah, saya mencapai MRT Changi karena banyak sekali penunjuk jalan, sangat lengkap, detail, dan informatif. Lokasi stasiun MRT Changi menyatu dengan terminal 2 bandara Changi, jadi saya tidak perlu naik Sky Train untuk mencapai MRT ini. Ketika itu jam menunjukkan pukul 12.00 waktu setempat. Stasiun MRT ini letaknya beberapa puluh meter di bawah tanah. Untuk mencapainya, saya harus menuruni tangga eskalator yang panjang, yang kemiringannya sangat curam, dan bergerak cepat. Beda dengan di Indonesia yang terkesan malas dan lambat.
Tetiba di stasiun MRT Changi, suasana stasiun masih sepi. Hanya terlihat beberapa turis-turis asing, termasuk kami. Saya tidak membeli tiket single trip di mesin tiket. Saya menuju ke tiket office untuk membeli Singapore tourist pass (STP), sebuah kartu khusus untuk turis, yang bisa digunakan untuk berpergian dengan MRT, LRT, maupun Bus di Singapura, sepuasnya, berkali-kali tanpa ada batasan (unlimited). Saya beli dengan masa berlaku maksimal 3 hari dengan harga $24 ditambah deposit $10. Setiap pembelian kartu tiket, baik single trip ticket maupun STP, kita wajib membayar deposit, mungkin sebagai jaminan agar kartu tersebut dikembalikan/tidak dibawa pulang.
Awalnya saya pikir MRT adalah kereta dengan rel tunggal, ternyata bukan. MRT sama saja seperti KRL di Jakarta, kereta listrik rel ganda. Hanya saja, KRL yang ini (MRT) jauh lebih rapih, jauh lebih otomatis, jauh lebih nyaman, jauh lebih disiplin, dengan armada yang selalu tersedia setiap saat. Jauh dibandingkan dengan KRL di Jakarta. Harusnya kalau pihak pengelola KRL di Jakarta mampu membangun sistem transportasi dengan konsep yang sama dengan MRT Singapura, saya kira Indonesia tidak kalah dengan Singapura.
Di Statiun MRT Tanah Merah, MRT dari Changi ini berhenti dan akan kembali ke Changi, jadi saya pindah ke MRT yang menuju Joo Koon. Saya tidak langsung turun di MRT Bugis, dekat hotel, karena waktu masih menunjukkan pukul 12.30, sementara cek in jam 14.00. Kami turun di stasiun City Hall dan berjalan-jalan sebentar. Ternyata jarak City Hall dengan hotel tidak begitu jauh. Jadi saya memutuskan untuk jalan kaki saja menuju hotel, ketimbang naik MRT yang hanya berjarak satu stasiun. Stasiun MRT City Hall terletak di North Bridge Road, yang akan bertemu di persimpangan Middle Road, jalan tempat hotel kami. Begitu juga stasiun MRT Bugis yang ada di Victoria St. yang akan bertemu di persimpangan Middle Road juga.
HARI PERTAMA
HARI KE DUA
Kalau dibilang Singapura negara yang ketat menerapkan aturan, tapi saya lihat tidak juga. Beberapa orang lokal melanggar lampu penyebrang jalan, dan saya melihatnya di banyak tempat. Sampah-sampah kecil masih berceceran di sekitar tempat sampah. Dan pelanggaran yang paling umum adalah masih banyak orang-orang yang merokok di trotoar-trotoar, bahkan di dekat halte, padahal jelas di sana banyak tanda "merokok melanggar hukum".
Bahasa yang paling banyak saya dengar adalah bahasa Cina, saya sendiri tidak paham bahasa Cina yang mana. Begitu saat saya berbicara dengan mereka dengan bahasa Inggris. Sulit bagi saya untuk memahami kosakata mereka, bahasa Inggrisnya campur dengan aksen Cina, aneh sekali. Pengucapan kata-katanya menjadi asing di telinga. Lebih mudah bagi saya untuk berbahasa Inggris dengan orang India, atau melayu, pengucapan mereka lebih jelas.
Dan lebih jelas lagi jika dengan Native. Ketika saya mengunjungi Singapore Flyer, di dalam kapsul, saya bertemu dengan orang orang bule. Teman saya ingin sekali berfoto dengan mereka, namun teman saya ini tidak pandai bebicara bahasa Inggris. Akhirnya saya beranikan diri, dan ternyata mereka sangat ramah. Namanya Sarah, berasal dari England, dan berkunjung ke keluarganya di Singapura. Saya sempatkan juga mengobrol-ngobrol smalltalk dengannya. Saya tanyakan bagaimana Singapore Flyer ini dibandingkan dengan London Eye. Ia berkata Singapore Flyer lebih besar daripada London Eye dan saat ini Singapore Flyer menjadi "komidi putar" yang paling besar di dunia. Tingginya setara dengan gedung Marina Bay Sands di seberangnya. Banyak hal lain yang kami perbincangkan, dan saya tidak menemui kesulitan dalam berkomunikasi bahasa inggris dengannya, pengucapannya sangat jelas. Wah, ternyata ngga rugi saya memilih untuk naik Singapore Flyer, walaupun tiketnya agak mahal $29,5
HARI KE TIGA
HARI KE EMPAT
Jam 7.00 saya sudah cek out dari hotel. Pesawat kami jam 12.20. Di perjalanan menuju stasiun MRT Bugis, saya menemukan tempat makan Asia, di antara sela-sela tingginya bangunan di kota Singapura. Harganya murah dan halal. Ketika itu, baru lapaknya orang India yang buka. Lumayan bisa sarapan, kami membeli roti prata dan segelas susu panas, hanya habis $5an untuk 2 orang. Sangat murah, hehehe. Selanjutnya saya menuju MRT Bugis dan membeli single trip ticket, karena STP saya sudah melebihi jangka 3 hari. Sesampainya di MRT Changi, saya me-refund tiket single trip dan STP, dan langsung berjalan menuju bandara.
Jam 11.00 kami sudah boarding dan sampai di Jakarta jam 13.30 WIB. Kalau waktu berangkat, saya dapat tempat duduk sebelah sayap, waktu pulang dapat tempat duduk paling belakang. Sebelah saya, kebarengan 4 anak-anak SMA Indonesia yang lagi jalan-jalan belanja. Itu gambaran yang kira-kira bisa saya tangkap dari percakapan mereka. Perjalanan pulang lancar dan tidak ada gangguan cuaca.
Tapi hal yang sangat menyedihkan, bagaimana bandara Cengkareng sebagai bandara Internasional, sangat kontras berbeda dengan kenyamanan bandara Changi. Di Changi, banyak papan informasi yang sangat jelas bagi saya sebagai orang asing, bahkan bagi yang baru pertama kali berkunjung, mengenai tempat-tempat mana yang harus dituju, fasilitas apa yang bisa saya gunakan, bagaimana caranya, dan berapa ongkosnya. Sementara di Cengkareng, keluar bandara, banyak sekali supir-supir yang menawarkan, petunjuk informasi yang minim, semrawut di mana-mana.
Mungkin saya sebagai orang Indonesia, dengan mudah mendapatkan angkutan, atau karena saya sudah biasa memanfaatkan fasilitas tersebut. Tapi saya melihat banyak orang bule yang kebingungan ketika keluar dari terminal. Malu dengan plang-plang iklan visit Indonesia yang ada tepat di seberang pintu keluar terminal. Bagaimana wisatawan nyaman untuk berkunjung kalau seperti ini?
PULANG DAN KESAN
Benar kata teman kantor saya, 4 hari memang tidak cukup untuk menjelajah Singapura. Masih banyak tempat yang belum saya kunjungi. Padahal saya ingin mendatangi semua sudut di Singapura, dari ujung barat ke ujung timur, dari ujung utara ke ujung selatan.
Padahal Singapura negara kecil, namun banyak sudut yang menarik untuk dikunjungi. Mungkin yang ngga kuat adalah kaki, capek banget jalan sejauh itu. Mungkin karena kita orang Indonesia tidak dibiasakan berjalan, tapi dimanjakan dengan motor kemana saja kita berpergian. Selama di Singapura, orang-orang lebih suka menggunakan MRT dan berjalan. Kendaraan pribadi jumlahnya sangat jarang, apalagi motor, hanya tampak sesekali di jalanan. Kendaraan juga sangat menghargai pejalan kaki. Mereka akan langsung berhenti untuk memberi jalan pejalan kaki. Suara klakson mobil juga hampir tidak pernah terdengar.
Trotoar di Singapura banyak pohon-pohon besar, rindang dan sejuk. Padahal Singapura adalah kota metropolitan di garis katulistiwa, di dataran rendah yang harusnya panas dan pengap seperti Jakarta. Trotoarnya sangat lebar, indah dan rindang untuk sekedar duduk-duduk. Trotoarnya bersih dari sampah, pengemis dan pedagang asongan. Tidak ada tiang listrik dan kabel-kabel yang bersliweran di atasnya, sangat rapih. Benar-benar kontras dengan jalanan di Indonesia.
Satu lagi yang membedakan, trotoar di Singapura langsung berbatasan dengan gedung-gedung megahnya, kesannya menyatu dan bersahabat. Di sela-sela gedung-gedung tinggi, adalah jalan-jalan kecil yang bisa dilalui pejalan kaki. Gedung-gedung di Singapura sangat indah, arsitektur yang sangat cantik, dan keindahannya dinikmati oleh pejalan kaki sepanjang jalan. Kalau di Jakarta, gedung-gedung tingginya sombong, pejalan kaki dibatasi jarak dan pagar tinggi, hanya mobil-mobil yang hendak parkir yang bersahabat dengan gedung-gedung tersebut.
Meski demikian megah dan kerennya Singapura, saya merasakan ada yang hilang, lebih nyaman berada di rumah sendiri. Atau karena saat itu saya berada di negeri orang asing dan saya belum mendapatkan tempat di antara mereka. Mungkin jika saya memang benar-benar menjadi penduduk di sana, lain lagi ceritanya. Mungkin karena Singapura negara kecil yang isinya monoton itu-itu saja, tidak seberagam Indonesia, atau mungkin karena saya belum terlalu mengenal kehidupan masyarakat Singapura sebenarnya. Mungkin juga argo yang terus berjalan selama di negeri orang, mahal di dompet. Hehehe.
Suatu nanti, saya ingin pergi lagi ke luar negeri, menambah pengalaman, entah berwisata, atau studi. Yang pasti, saya harus menabung dulu, dan memperbaiki bahasa Inggris saya. Bahasa Inggris yang sudah saya pelajara selama 14 tahun sejak saya SD, faktanya masih jauh dari predikat "lulus". Saya masih kesulitan memahami bahasa Inggris dari orang-orang dengan aksen berbeda. Saya juga berniat belajar bahasa Mandarin, nampaknya saat ini sangat diperlukan. Setidaknya, jalan-jalan kali ini sudah membuktikan, kalau saya bisa!