Halo, ketemu lagi, kali ini di Part 3 cerita saya mendaftar
beasiswa LPDP, diketik langsung dari FKIP Universitas Jember (ya daripada bosen
sendirian di kos, mending nongkrong di sini sambil cari inspirasi #kode banget
:p). Sekilas tentang Unej ya, sebelum saya bahas LPDP, ini kali ketiga saya mampir di Unej, kesannya
teduh, kayak kebun raya, banyak pohon, daun-daun berserakan, rumputnya
tinggi-tinggi, dan ada kambing-kambing gembalanya (mengingatkanku pada kampusku
dulu di pertengahan tahun 2000an) :D. Malah suatu ketika saya pernah hampir
kejatuhan ranting lapuk pas jalan-jalan menyusuri gedung-gedung di Unej ini. Untung ternyata waktu itu belum waktunya bagi saya…
hahaha macam final destination. Moga-moga sebelum bener berangkat ke LN buat
kuliah (aamiin ya Allah), saya masih bisa, sempet ngajar di kampus ini,
aamiiin. Oke, next, ngelanjut cerita kemarin, kayaknya ada satu hal yang lupa
belum disampaikan, yaitu saya harus menyiapkan seluruh dokumen asli yang saya upload saat pendaftaran, ditambah SKCK, untuk keperluan validasi.
Jadi, berikut ini dokumen asli yang harus saya bawa ke Surabaya:
- Print out kartu peserta (ada menunya di akun LPDP kita)
- Print out formulir pendaftaran online LPDP
- Ijasah S1
- Transkrip nilai S1
- Rencana Studi
- Sertifikat bahasa asing
- Surat pernyataan
- Surat ijin belajar sesuai format LPDP
- Surat rekomendasi sesuai format LPDP
- LoA
- KTP
- Surat berbadan sehat dan bebas narkoba
- SKCK
Nah, di sini ada beberapa masalah yang saya alami.
Yang pertama, sebagai lulusan STAN, ijasah asli kita ditahan
sama kementerian sampai dengan ikatan kerja kita berakhir. Padahal pihak LPDP
tidak menerima fotokopi ijasah meski dilegalisir, harus asli. Mau
minta surat keterangan dari kementerian/eselon 1, kok ya rasanya waktunya udah
ga mungkin, mana Jakarta jauh. Akhirnya, berdasarkan usulan teman, saya cari
dasar hukum mengenai ikatan kerja mahasiswa STAN dan pasal yang menyatakan
kalau ijasah asli kita ditahan, untuk nanti ditunjukkan pada petugas verifikasi
dokumen. Dan ketemulah dasar hukum tersebut, yaitu Pasal 8 Keputusan Menteri
Keuangan nomor KMK-289/KMK.014/2004, dan Pasal 8 Peraturan Menteri Keuangan nomor
PMK-188/PMK.01/2014. Alhamdulillah, berbekal 2 aturan Menteri Keuangan tadi,
fotokopi ijasah saya bisa diterima.
Masalah ke dua adalah surat ijin belajar saya dari institusi
(ada 2 sub masalah di sini :’D). Seperti yang saya bilang sebelumnya, aturan
tugas belajar bagi PNS di Kementerian Keuangan itu rigid banget, ga fleksibel. Jadi, format surat ijin belajar dari
institusi saya harus merujuk pada Lampiran II Peraturan Menteri Keuangan nomor
PMK-18/PMK.01/2009, yang berbeda dengan format baku yang diminta oleh LPDP.
Kalau kata mas yang di kantor pusat institusi saya yang ngurusi masalah
penerbitan surat ijin belajar, pake format PMK18/2009 itu bisa kok buat apply LPDP, ya jadi saya percaya saja.
Dan memang benar, Alhamdulillah pihak LPDP menerima surat ijin belajar saya.
Masalah berikutnya terkait surat ijin belajar ini adalah: asli surat ijin
belajar yang dikirim oleh kantor pusat ke kantor saya (kantor lama di Malang)
via pos, belum juga nyampe hingga minggu ke tiga bulan Agustus! Padahal, surat
ijin belajar itu udah selesai prosesnya dari pertengahan bulan lalu. Benar-benar bikin
senewen!!! Saya stres mikirin gimana kalau ternyata suratnya belum juga tiba
padahal asli surat tersebut harus saya bawa ke Surabaya untuk verifikasi
dokumen. Apalagi posisi saya saat itu di Jember, byuh bener-bener harus
wira-wiri Jember, Malang, Surabaya
nantinya. Kalau mengandalkan jasa pos lagi untuk meneruskan surat tadi dari kantor
Malang ke Jember, bisa ga jadi ikutan seleksi subtantif LPDP. Beruntungnya, di
akhir minggu ke tiga bulan Agustus, bersamaan dengan saya ke Malang pas ngurus
SKCK, surat itu akhirnya datang. Bener-bener dah, banyak yang harus dipikirin
di injury time macam itu!
Masalah terakhir adalah (ini masalah minor sebenarnya),
seperti saya ceritakan juga di postingan sebelumnya kalau server LPDP sempet
down waktu lebaran, nah imbasnya adalah, foto profil saya di akun LPDP jadi
ilang. Waktu saya cetak kartu peserta dan formulir pendaftaran online, foto saya ngga muncul, sehingga
layout barcode di kartu peserta jadi
ngaco. Takut jadi masalah nantinya di Surabaya, saya coba update foto saya,
ternyata saya masih bisa update profil saya dan reupload foto profil lagi.
Alhamdulillah, lancar.
Oke, seluruh dokumen terkumpul dan siap untuk dibawa ke
Surabaya, masukkan dengan rapih ke dalam map. Oiya, di cetakan kartu peserta
itu ada tanda gambar gunting (potong di sini), itu digunting aja, karena bagian
atas dipakai untuk verifikasi dokumen, dan bagian bawah dipakai untuk nametag di meja
LGD. Pengalaman saya, ngga saya gunting (kirain bakal diguntingin panitia),
jadinya pas di LGD, nametag nama saya terkesan ga rapih dan lipetan-lipetan
asal (jangan dicontoh ya!). Saya ke Surabaya naik travel dari Jember. Nah di sini,
selalu biasakan menyapa dan ngajak ngobrol orang, it affects a lot to your mood and expression, supaya nantinya saat
wawancara, kita sudah punya mood yang ramah dan supel! Selain itu, ngajak
ngobrol orang yang baru dikenal, bisa nambah kenalan, wawasan, dan mengurangi nervous. Jadi, turn off yout gadget a while! (ya iyalah hape saya mati karena
kehabisan batre). Meski dokumen sudah lengkap, ngga mengurangi drama perjalanan
saya menuju Surabaya. Di Tongas, Probolinggo, saya harus switch kendaraan travel karena kendaraan yang saya tumpangi dari
Jember tujuannya ke Malang. Lama di tunggu, kendaraan travel yang akan membawa
saya ke Surabaya ternyata mengalami musibah kecelakaan di Bondowoso, nabrak
motor. Walah, akhirnya ngentang beberapa jam di Tongas buat nunggu kendaraan
pengganti. Janjian dengan pihak hotel pun terpaksa diundur, dari yang
rencananya jam 8 malam, ternyata nyampe hotel jam 12 malam (macam Cinderella).
Untung, sebelum hape saya benar-benar kehabisan batre, saya matikan manual,
jadi pas kondisi kritikal macam ini, saya masih punya cadangan power untuk konfirmasi ke pihak hotel.
Dan tepat setelah saya tutup telpon setelah konfirmasi dengan pihak hotel,
tewaslah hape saya. Bener-bener beruntung.
saya nginep di hotel Ibis Rajawali, awalnya booking 2 hari 3
malam sesuai undangan LPDP, tapi mengetahui jadwal seleksi saya selesai dalam 1
hari, langsung saya klarifikasi lama tinggal jadi 1 malam saja, cukup buat
numpang tidur. Mahal lah, mana ga dapet penggantian dari kantor. Saya tiba di
hotel jam 12 malam, masih saya sempatkan baca-baca artikel, nota keuangan dan
RAPBN 2016 (cieeeh), sama latian ngomong sendiri macam orang gila. Takut
kesiangan (ya iya, baru tidur jam 2 malam), saya pasang multiple alarm dari jam 4 pagi sampe jam 6 pagi di hape saya. Rugi banget
bayar mahal, cuma buat numpang tidur, mandi dan sarapan, dalam 6 jam saja (ga
mau rugi). Paginya, saya sarapan di hotel ditemani teman saya yang dinas di
Surabaya, kebetulan kantor dia bersebelahan dengan lokasi
seleksi subtantif LPDP. Jadi, saya bisa nebeng transport dan tempat istirahat
nantinya di sana, hahahaha.
Gara-gara keasyikan ngobrol sama teman saya itu, hampir aja
saya telat ikut seleksi pertama saya: essay
on the spot. Di jadwal kan tertulis essay
on the spot jam 8.20, jadi saya nyantai-nyantai aja datang ke lokasi jam
8.00, duduk-duduk sebentar di antrian verifikasi dokumen, tapi sampe 10 menit
kok ga ada tanda-tanda pengumuman tes esay. Saya tanya ke bagian informasi,
katanya, peserta esay tadi udah dipanggil tadi (sebelum jam 8.00, sebelum saya
datang ke sana), dan sekarang mereka sudah ada di dalam kelas untuk ujian esay!
Whatttt… saya lari dong, ke lantai di mana ujian esay dilaksanakan, ternyata
bener, semua peserta udah duduk manis dengan alat tulis dan lembar soal dan
jawaban. Padahal, masih jam 8.10! rajin banget! Lesson to learn: Dateng 30 menit sebelum jadwal yang ditentukan,
kalau perlu datang 60 menit sebelumnya!!! Hampir lah saja saya ga bisa ikutan
tes esay. Di sisa waktu yang saya punya, secepat kilat saya tulis esay saya,
meski tulisannya macam cakar ayam. Jadi, ada 2 topik yang disediakan, kita
disuruh pilih salah satu topik aja. Kita diminta untuk membuat esay, setuju
atau tidak setuju dengan pernyataan di soal. Waktu yang diberikan 30 menit dan
2 halaman kertas (bukan 2 lembar ya) untuk menulis jawaban (untung udah terlatih menulis cepat dan banyak waktu UTS atau UAS waktu kuliah dulu). Oiya, sebelum masuk ruang tes, matikan
hape, masukkan ke dalam tas, kita cuma diperkenankan bawa alat tulis dan alas
tulis ujian (yang macam papan kayu itu). Topik soal sepertinya beda-beda antar
peserta, acak, karena ada kode soal juga. Topiknya sangat umum terkait
permasalahan di sekitar kita. Waktu itu saya dapet topik: setujukah dengan
Ujian Nasional, dan setujukah dengan pelarangan membonceng balita dengan motor
saat mudik, saya ambil topik yang pelarangan membonceng balita (ndilalah
beberapa minggu sebelumnya saya nonton acara forum Indonesia di metro tv dengan
topik seputar ojeg dan sepeda motor, lumayan banyak bahan yang bisa diambil
dari sana). Yang paling saya ingat dalam
menulis, atau mengembangkan kerangka berfikir akan suatu kebijakan publik,
adalah ajaran dari dosen audit kinerja publik saya waktu D4 (pak Nur Mochlas,
yang saat ini juga sedang menyelesaikan studi S3 di Universitas Brawijaya
dengan beasiswa LPDP!!! Keren), yaitu bagaimana kita membedakan gejala (symptom) dengan akar masalah (root cause), dan bagaimana kebijakan
yang diambil bukan hanya terpaku pada prinsip 3E (ekonomis, efektif, efisien),
bukan hanya terpaku pada output dan outcome, tetapi juga harus bisa memberi impact dan benefit dalam jangka panjang dan mampu mengatasi akar masalahnya,
bukan hanya sekedar mengatasi gejalanya. Ya seperti itulah kira-kira tips dari
saya untuk menulis esay (halah). Keluar dari ruang tes esay, kita menuju ke
ruang selanjutnya untuk tes berikutnya LGD! Eh, di tengah-tengah perjalanan,
kita ngobrol-ngobrol sama peserta lain, ada yang bilang, “saya sudah selesai
nulis untuk yang topik 1, tapi yang topik 2 ngga selesai, kurang waktunya”. Damn! Psywar benar, saya jadi takut jangan-jagan saya salah baca petujuk
soal, karena saya cuma ngerjakan 1 topik saja. Beneran, kepikiran ginian bisa
ngerusak mood, apalagi sebentar lagi saya harus speak up di LGD. Ya udah, dalam hati, saya terus meyakinkan diri
kalau saya yang bener, kalau saya ga salah ngerjakan esay! Atau misalkan salah
pun, setidaknya 1 esay yang saya tulis, saya yakin tulisan saya sangat
berbobot, komprehensif namun tetap tepat pada sasaran yang diminta (mensugesti
diri sendiri untuk berfikir positif dan yakin, hahahaha mbuh wes). Oh iya, esay
juga dinilai dari aspek kaidah penulisan sesuai bahasa Indonesia dan
kesinambungan, kalau ga salah (lupa, di soal ujiannya ada tulisannya)
Yang aneh dari tes di pagi-pagi ini, saya ngga merasa deg-degan
atau nervous, sama sekali ngga. Malah
kita sering guyon antar sesama peserta, yang artinya itu bagus. Meskipun sebenarnya, awalnya saya agak keder karena dalam 1 kloter, kita semua dicampur dari berbagai jurusan dan tujuan studi, termasuk para calon mahasiswa doktoral. Di ruang LGD,
kita diminta duduk dengan urutan yang sudah ditetapkan panitia. Saya duduk di
kursi nomor 1 dekat dengan penilai, dan terus berurutan melingkar (mejanya macam
meja oval buat rapat, jadi kita duduk berhadap-hadapan). Ada 8 peserta di LGD,
mereka berasal dari latar belakang pendidikan beragam, ditambah 1 orang penilai
(psikolog) dan 1 orang panitia. Kita diberi 1 lembar artikel/ berita tentang
pemerintah Taiwan yang melarang orang tua memberikan gadget kepada anak, dan
pro kontra pemakaian gadget kepada anak di sekitar kita, dan kita diberi waktu
5 menit untuk membacanya. Kita juga diberi satu lembar kertas kosong buat corat
coret. Oiya, lagi-lagi LGD yang jadwalnya jam 09.00, kita sudah masuk ruangan
jam 08.50, jadi: be there couple minutes
earlier! Nametag kita (hasil guntingan kartu peserta yang kita cetak dari
web LPDP) ditaruh di meja di depan kita, sehingga penilai bisa melihat nama
kita. Nah karena ini Leaderless Group
Discussion, baik penilai maupun panitia ga akan kasih petunjuk apapun
bagaimana jalannya diskusi kita, harus inisiatif dari kita semua. Bingung kan
mau memulainya gimana? Nah, ada 2 cowok peserta yang tanggap, satu dari mereka
membuka dan mengajukan diri sebagai notulis, dan satu lainnya jadi peminpin
diskusi yang megarahkan bagaimana jalannya diskusi ini akan dibawakan. Kalau
saya, saya ambil kesempatan pertama untuk berbicara (setelah diskusi dibuka oleh kedua orang ini),
yaitu dengan menyampaikan kerangka berfikir dan poin-poin apa saja yang harus
kita bicarakankan dalam diskusi, step-by-step,
agar diskusi terarah dan bisa memberikan kesimpulan di akhir nanti. Karena saya
duduk di kursi nomor satu, entah mengapa, akhirnya kita jadi seperti sepakat
giliran bicara, dilanjut ke peserta nomor dua dan sampai nomor 8, aduh… Waktu
yang dihabiskan buat 8 orang itu bergiliran bicara pun habis 30 menit,
sementara saya belum menyampaikan opini saya apalagi kesimpulan (karena di awal
tadi saya cuma memberikan preface
terhadap problem yang ada dan kerangka diskusi). Selanjutnya, kita buka sesi tanggapan,
Alhamdulillah saya masih bisa menyampaikan sedikit hasil akhir pemikiran saya.
Diskusi akhirnya ditutup dengan kesimpulan yang dirangkum oleh peserta yang
berperan sebagai notulis. Waktu 45 menit rasanya kurang sekali, semua berjalan
cepat. Saya merasa kurang puas dengan diskusi, karena masih banyak faktor yang
belum sempat disinggung, dan masih banyak kesimpulan yang masih perlu diuji
keefektifannya, hahahaha. Tapi saya ingat dengan pesan dosen saya dalam
menghadapi LGD: “Jangan mendominasi!!! Ini diskusi bukan debat, jadi beri
kesempatan setiap orang menyampaikan pendapatnya, dan akan ada suatu saat
dimana kita semua stuck dengan ide,
nah disitulah momen yang bisa kita ambil untuk menyampaikan pemikiran brilian
kita, hehehe.
#Intermezzo: Karena batre laptop habis, dan di taman Unej ini ga
ada colokan listrik, saya pindah lokasi dulu ya. Memang benar sepertinya, kebutuhan primer manusia jaman sekarang bukan cuma sandang pangan
papan, tapi juga listrik dan free wifi :D. Kebetulan, temen saya ngewhatsapp
ngajakin ke kantor, jadi hayo aja pindah lokasi, cari sumber listrik. Tiba di
kantor, suhu ruangan di kantor ternyata lebih panas, kaos basah sama keringet
padahal ga ngapa-ngapain, masih lebih adem di taman Unej tadi, semilir angin di
bawah rindang pohon. Ya udah, gini aja intermezzonya, kita kembali ke cerita
lagi.
#Kembali ke cerita:
Selesai LGD kira-kira jam 10an, masih ada waktu sampe jam 1
siang nanti buat tes berikutnya, wawancara. Saya lantas nyamperin teman saya yg
kerja di gedung sebelah, sekalian nggangguin dia kerja. Namanya Chandra, teman
sejak kuliah D3 saya di STAN, kuliah D4 STAN, dan ngekos bareng jaman nyusun
skripsi. Saya minta bantuannya buat berlatih wawancara. Terima kasih ya Chan,
udah mau kasih saran dan masukan buat saya! Lepas Zhuhur, saya langsung ke
antrian verifikasi dokumen, karena saya ngga mau telat lagi! Tapi ternyata, petugas
verifikasinya masih istirahat dan baru dateng jam 1 tepat. Jadi kita banyak
habiskan waktu buat ngobrol sama peserta yang lain, lumayan banyak nambah
kenalan dan ngurangi gugup. Ada 1 orang, namanya Zakiy, dia 1 kloter sama saya
sejak esay, LGD, dan verifikasi dokumen ini. Ternyata, dari hasil ngobrol siang
itu, si Zakiy ini adek kelas saya di SMA 3 Malang, di bawah saya 1 tahun, oalah…
Dia alumnus sastra UI dan sekarang bekerja di LIA. Studi tujuannya, Applied Lingustic di Edinburgh Skotlandia. Njeper juga nih
dengernya, His English must be way way
better than mine! Tapi yang penting, saya ada teman seperjuangan nanti
kalau kami sama-sama jadi berangkat ke UK, hahaha… (tapi belakangan saya
dikabari kalau dia belum berhasil pada seleksi kali ini, saya jadi merasa bersalah pake
nanya hasil seleksi ke dia). Setelah verifikasi dokumen selesai, barulah kita
berhak untuk mengikuti tes wawancara. Di sini, pressurenya kerasa banget, bukan cuma saya, semua peserta juga
merasakannya, dari wajahnya semua tegang-tegang. Satu cara kami menghilangkan
ketegangan adalah dengan terus ngbrol dan think
positively. Memang sangat terasa manfaatnya dengan mengobrol, kita
melupakan sejenak kekhawatiran, dan membuat mimik muka dan pita suara kita jadi
luwes, serta otot-otot yang tadinya tegang jadi rilex. Tapi begitu seorang
dipanggi masuk ruang wawancara, hening sesaat, langsung rasanya dag-dig-dug
kembali lagi. Memang ga bisa dibohongi. Jadi tips dari saya sebelum menghadapi
wawancara adalah: ajak ngobrol orang disebelahmu, dan banyak minum (walaupun
akhirnya saya 2x harus ke toilet buat pipis sebelum masuk ruang wawancara). Oh
iya satu lagi yang nampak di ruang tunggu validasi dokumen dan wawancara ini,
kebanyakan peserta masih muda-muda, banyak sekali yang fresh graduate. Saya di antara mereka nampak seperti om-om gendut,
hahaha.
Sekitar jam 14.30, nama saya dipanggil ke ruang wawancara.
Di ruangan ini kalau ga salah ada 9 meja wawancara dan masing masing meja diisi
oleh 3 pewawancara dan 1 peserta, suaranya riuh rendah, terdengar sahut-sahutan antar meja, ;D. Ajaib, nervous
saya ilang, sambil saya yakinkan pada diri saya, let’s get this done! Senyum, salam, sapa dan berjabat tangan
sebelum dipersilahkan duduk, itu yang saya lakukan. Hal terpenting berikutnya
adalah kontak mata, meski mulut kita berbicara, tapi mata berbicara lebih
banyak. Kontak mata juga menunjukkan kalau kita antusias dan menghargai lawan
bicara kita. Jangan lupa juga, kenakan pakaian yang rapih (saya mengenakan batik formal lengan panjang, celana bahan, dan sepatu pantofel), sisir rambut dengan rapih dan potonglah kuku yang sudah panjang. Salah seorang dari 3 pewawancara itu adalah psikolog (tapi saya
ngga tau yang mana di antara mereka) yang bisa menilai kita berbohong atau
tidak, dan gerakan tubuh kita seperti gerak mata dan posisi tubuh akan menunjukkan
semuanya tanpa kita sadari, jadi tetaplah jujur dan jadi dirimu sendiri. Hal
pertama yang ditanyakan adalah mengenai diri saya, pekerjaan saya, terutama
ijin belajar saya dari kantor, lalu dukungan dari pimpinan dan apabila ternyata
pimpinan di kantor baru saya tidak memberi ijin. Selebihnya lebih banyak
bertanya yang nyerempet-nyerempet dengan esay yang kita tulis. Kadang mereka
tanya straight to the point terhadap tulisan
kita di esay seperti misalnya kenapa saya ambil studi ini, tesis apa yang
hendak saya tulis dan kenapa, atau pertanyaan-pertanyaan yang ga langsung
terkait dengan tulisan di esay kita, eh tapi ujung-ujungnya bisa jadi pendapat yang
kita ucapkan, kontradiktif dengan pendapat kita yang kita tulis di esay,
Nah Lo! Makanya saran saya: Jadilah dirimu sendiri, karena kepribadian ga akan
berbohong. Pertanyaan paling sulit menurut saya adalah ketika saya ditanya
mengenai loyalitas saya. Saya diminta berandai-andai apabila ada talent scouting yang memberi tawaran
pekerjaan yang lebih menjanjikan dibanding pekerjaan saya saat ini, mana yang
akan saya pilih. Kalau idealisme harusnya saya jawab, saya akan tetap loyal di
institusi saya, tapi kalau jawaban jujur saya harusnya jawab yang mana yang mampu
memberikan manfaat terbesar buat saya. Jadinya, saya pilih jawaban jujur saya
:D, saya berpendapat, saya akan memilih tempat yang bisa membuat diri saya
berkembang, sehingga saya mampu berkontribusi lebih bagi negara. Lagipula untuk
memberikan kontribusi bagi Indonesia tidak harus menjadi orang di pemerintahan
kan, setiap orang memiliki perannya masing-masing dalam memberikan kontribusi
pada negara. Kemudian saya dikejar, “berarti loyalitas anda boleh saya bilang
di urutan ke 4 dalam prioritas hidup anda”, waduh sempet bikin goyah juga
hahaha, tapi untungnya saya bisa ngeles. Secara keseluruhan, Alhamdulillah saya
bisa jawab semua pertanyaan dengan lancar tanpa gugup, rasanya seperti
mengobrol saja. Wawancaranya pake 50% bahasa Indonesia, 50% bahasa Inggris,
suka-sukanya pewawancaranya tanya pake bahasa apa. Sepertinya yang dinilai di
wawancara ini adalah selain kejujuran, juga kesiapan, kesungguhan, dan keniatan
kita untuk menerima beasiswa dan melanjutkan studi. Tips menghadapi wawancara a
la saya adalah: Jadilah dirimu sendiri, latihan mengungkapkan semua sudut
pandangmu, serta perluas wawasan. Oh iya, pengalaman berorganisasi, ngajar, jadi coach band kantor, atau banyak kegiatan lain di lingkungan sekitar juga ternyata bermanfaat dan memberi nilai lebih mengenai siapa diri kita di mata para pewawancara, Jadi, saran saya, jadilah orang yang banyak memberi kontribusi nyata pada lingkungan anda dari hal-hal kecil apapun yang bisa anda lakukan, intinya selalu aktif dan peduli pada lingkunganmu. Satu lagi, saya diberi pesan oleh salah satu
pewawancara di akhir sesi wawancara: beliau berkata kepada saya “kalau bicara jangan
cepat-cepat, ide kamu banyak, dengan vocabulary
sedemikian banyak dan kecepatan bicara secepat itu akan sulit bagi lawan bicara”.
Hehehe memang saya menyadari, kalau saya ngajar atau membawakan sosialisasi,
kalau lose control kecepatan bicara
saya mencapai 1000 kata per detik (lebay), dan sebenarnya sebelum wawancara,
salah sorang dosen saya sudah bilang ke saya, kalau saya bicara terlalu cepat,
saran beliau agar saya berbicara lebih lambat. Oh iya satu lagi, percakapan
wawancara LPDP ini direkam, mungkin untuk membantu penilaian lebih lanjut.
Keluar ruang wawancara rasanya lega sekali, apalagi ngelihat
teman-teman dengan wajah tegang yang masih menunggu giliran mereka untuk
wawancara, rasanya bisa senyum jahat (hadooh, tidak baik ini). Walaupun saya
merasa di tiga tes subtantif “harusnya saya bisa lebih baik lagi”, tapi saya
sangat puas karena semuanya berjalan lancar. Kala itu, antara 50-50 yakin atau
tidak yakin, karena semuanya bisa saja terjadi. Bisa saja, saya merasa
berhasil, tapi mungkin tidak cukup baik karena yang lebih baik dari saya bisa
saja sangat banyak. Jadi, selebihnya saya pasrah, ini adalah usaha terbaik saya
yang bisa saya lakukan. Saya hanya lelah, kalau harus mengulang semua proses
dari awal lagi, dan berharap hal tersebut tidak terjadi. Rangkaian perjalanan
seleksi beasiswa LPDP saya kalau difikir, sangat berat dan banyak sekali hal
yang ribet, tapi begitu dikerjakan, semuanya bisa terselesaikan. Semoga tulisan
saya ini bisa memberi manfaat bagi teman-teman yang hendak mendaftar beasiswa
LPDP. Perjuangan masih panjang, saya masih harus mengejar syarat-syarat yang
diminta oleh universitas tempat tujuan saya kuliah nanti (dengan syarat yang nggilani susah, nyesel lah sekarang tau IPK juga penting). Perjuangan tidak akan
pernah berhenti, sampai nafas ini berakhir (hahaha sok bijak). Mohon doa restunya teman-teman. Ya wes rek,
sampai jumpa di tulisan berikutnya. Mohon maaf apabila ada salah kata. Kalau ada pertanyaan, saran, kritikan, silakan disampaikan.